Kamis, 20 Oktober 2011

Agama sebagai sebuah Sistem Kebudayaan

AGAMA SEBAGAI SEBUAH SISTEM KEBUDAYAAN
(Clifford Geertz)
 I.            Pendahuluan
      Agama merupakan bagian dari kebudayaan di mana di dalam keagamaan terdapat unsur-unsur kebudayaan. Kebudayaan itu selalu mempengaruhi agama. Kebudayaan yang terdapat dalam agama dilambangkan dengan simbol. Untuk mengetahui lebih jelasnya lagi hubungan antar kebudayaan dan agama maka kami kelompok akan menjelaskannya dalam agama sebagai sebuah sistem kebudayaan.

    II.      Isi
2.1. Hubungan Agama Dengan Kebudayaan
Studi antropologis tentang agama terlihat dalam sebuah kasus ibadat kepada bapa leluhur sehingga mendukung otoritas hukum generasi yang lebih tua. Cara untuk melakukan hal ini bukanlah meninggalkan tradisi-tradisi yang ada, melainkan memperluasnya. Bagaimanapun juga konsep kebudayaan tidak terlepas dari hal ini. Konsep kebudayaan itu berarti suatu pola makna-makna yang diteruskan secara historis yang terwujud dalam simbol-simbol yang dengannya manusia dapat berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan.
Simbol-simbol religius merumuskan sebuah kesesuaian dasariah antara sebuah gaya kehidupan tertentu. Simbol itu menunjukkan keyakinan terhadap sesuatu yang dipercayai. Misalnya, pemakaian salib yang dipergunakan di leher dengan penuh kasih. Sitem-sistem simbol merupakan sumber informasi untuk mengetahui lebih dalam lagi tentang simbol.
Soal ini kadang-kadang diungkapkan dalam bentuk sebuah argumen bahwa pola-pola kultural merupakan model. Istilah model di sini memiliki dua arti, yakni: pertama model “dari”, yang ditekankan adalah manipulasi struktur-struktur simbol sehingga membawa struktur-struktur itu ke dalam kesejajaran dengan sistem non-simbolis yang ditetapkan sebelumnya (model dari kenyataan). Yang kedua, model “untuk”, yang ditekankan adalah manipulasi sistem-sistem non-simbolis menurut hubungan-hubungan yang terungkap dalam sistem-sistem simbolis (model untuk kenyataan). Model untuk ditemukan melalui keseluruhan susunan alam. Model dari mempersentasikan yang terdapat dalam model untuk. Dapat dipertukarkannya kedua model ini jelas pada simbol-simbol religius dan sistem-sistem simbol.
Ada dua buah deposisi yang berbeda muncul kemudian setelah kegiatan-kegiatan religius di atas, yakni: yang pertama, motivasi. Motivasi adalah suatu kecenderungan yang tahan lama, suatu kecondongan yang terus menerus muncul untuk menampilkan jenis-jenis tindakan-tindakan tertentu dan mengalami jenis-jenis perasaan tertentu dalam jenis-jenis situasi tertentu. Yang kedua suasana hati, suasana hati banyak dipengaruhi oleh simbol-simbol keramat, pada saat-saat dan tempat-tempat yang berbeda-beda, berturut-turut dari kegembiraan yang meluap-luap sampai kepada kesedihan yang mendalam. Perbedaan besar antara suasana-suasana hati dan motivasi adalah terletak pada kualitasnya, yaitu pada tujuannya.
Deposisi-deposisi yang ditetapkan sebagi sesuatu yang religius harus dapat merumuskan gagasan-gagasan tentang pembedaan empiris kegiatan religius sehingga walaupun pencarian kejelasan dan kecemasan metafisis ini merepotkan namun ada pemahaman yang lebih mudah untuk dimengerti. Misalnya dengan munculnya pendapat dari Malinowskt yang menawarkan jalan keluar yang bersifat empiris yaitu hanya dengan ritus dan kepercayaan ke dalam wilayah supranatural.
2.2. Masalah Religius Agama
Sebagai suatu masalah religius adalah agama di satu sisi menanamkan kekuatan sumber-sumber simbolis untuk merumuskan gagasan-gagasan analitis dalam sebuah konsep otoritatif tentang bentuk menyeluruh dari kenyataan, demikian juga dilain sisi agama menanamkan kekuatan-kekuatan sumber simbolis untuk mengungkapkan emosi-emosi. Oleh karena itu agama seharusnya menekankan maknanya sehingga simbolisme itu dipahami sebagai penderitaan umat manusia. Dengan demikian maka manusia dapat memahami pendeitaan dan menjadikannya kesakitan jasmaniah. Maka ritus-ritus penyembuhan pun akan dikumandangkan lewat nyanyian bersama yang berisikan penderitaan.
Masalah penderitaan dengan mudah beralih ke masalah kejahatan, ini dikarenakan penderitaan yang cukup hebat terjadi/dialami oleh manusia. Masalah kejahatan pada hakekatnya merupakan jenis masalah tentang kebingungan atau tentang penderitaan. Kesulitan dalam memahami suatu peristiwa empiris tertentu seperti halnya masalah kejahatan menimbulkan anggapan bahwa kehidupan manusia di dunia ini sama sekali tidak punya aturan yang sejati dan tidak memiliki aturan empiris. Prinsip-prinsip dalam menetapkan tatanan moral memang sulit dipahami oleh manusia, namun bagi seorang manusia religius yng penting adalah penjelasan atau bentuk dari fakta suatu peristiwa yang terjadi. Masalah makna adalah soal meneguhkan, dalam pengertian simbolis religius sebuah simbolisme yang menghubungkan lingkup eksistensi manusia ke sebuah skop yang lebih luas yang mencakup simbolisme, baik peneguhan maupun pengingkaran itu dilakukan.
Kepercayaan religius merupakan sebuah penerimaan otoritas sebelumnya yang dapat mengubah pengalaman yang dialaminya. Adanya kebingungan, penyakit dan masalah makna merupakan salah satu hal yang mendorong manusia ke arah kepercayaan akan ilah-ilah, setan-setan dan roh-roh. Masalah makna bukan basis tempat bersandarnya kepercayaan-kepercayaan itu, melainkan bidang penerapan yang paling penting dari kepercayaan itu. Dalam agama-agama suku primitif, otoritas terdapat dalam kekuatan persuasif dari cerita-cerita tradisional. Dalam agama-agama mistis terdapat perintah apodiktis tentang pengalaman adi-indrawi. Dalam agama-agama kharismatis, terdapat dalam daya tarik hipnotis dari seorang pribadi yang luar biasa. Aksioma dasariah yang mendasari perspektif agama pada dasarnya adalah sama, di mana jika seseorang ingin mengetahui harus lebih dulu percaya.
Perspektif adalah satu cara khusus untuk memandang kehidupan, menafsirkan dunia, seperti halnya perspektif sejarah, perspektif ilmiah, perspektif estetis dan perspektif akal sehat. Perspektif religius bergerk melampaui kenyataan-kenyataan kehidupan sehari-hari kepada kenyataan yang yang lebih luas yang mengoreksi dan melengkapi kenyataan-kenyataan sehari-hari itu. Perspektif religius berbeda dengan perspektif ilmiah dalam kenyataan bahwa perspektif religius mempersoalkan kenyataan-kenyataan kehidupan sehari-hari tidak keluar dari suatu skeptisisme yang terlembaga. Perspektif religius berbeda dari seni dalam kenyataan membuat bayang-bayang dan ilusi.
Pengertian perspektif religius bersandar kegiatan-kegiatan simbolis dari agama sebagai sebuah sistem kultural dibaktikan untuk menimbulkan perspektif religius dengan pewahyuan-pewahyuan yang bertentangan dari pengalaman sekuler. Motivasi-motivasi hati seseorang dalam kepercayaan iman seseorang ditimbulkan oleh simbol-simbol sakral dalam diri manusia dan eksistensi yang dirumuskan dalam simbol-simbol yang bertujuan untuk memperkuat satu sama lain. Kepercayaan religius muncul pada tataran manusiawi. Ritus religius mencakup perpaduan simbolis dari etos dan pandangan dunia, ritus ini merupakan ritus-ritus tertentu yang biasanya lebih bersifat publik. Pertunjukan-pertunjukan kultural menjelaskan bahwa upacara-upacara keagamaan tidak hanya menyajikan titik perpaduan segi-segi disposisional dan konseptual dari kehidupan religius untuk orang yang percaya, melainkan juga menyajikan sesuatu yang di dalamnya terdapat interaksi.
2.3  Keadaan Religius Keagamaan
 Semua pertunjukan kultural bukanlah pertunjukan-pertunjukan religius yang bersifat aristis atau politis. Contohnya agama Indian yang memikirkan agama mereka sebagai sesuatu yang dikemas dalam pertunjukan-pertunjukan khas yang mereka pamerkan kepada para tamu dan diri mereka sendiri. Bagi mereka agama adalah suatu bentuk kesenian manusia. Realisasi dari prspektif religius tidak hanya merupakan model-model dari apa yang mereka percayai, melainkan juga model-model untuk mempercayainya. Salah satu pertunjukkan dramatis lainnya adalah pertunjukan keagamaan di Bali. Dalam perunjukkan itu makna yang dapat diambil adalah perpaduan antara kedengkian yang keji dan lawakan ringan yang tentunya membawa suatu hikmah bagi penontonnya.
Drama merupakan sebuah pertunjukan yang tidak semata-mata merupakan sebuah barang tontonan untuk ditonton melainkan sebuah ritus yang dipentaskan bagi orang Bali. Hubungan anatara yang jahat dan yang jenaka, yang dilukiskan dalam drama itu adalah pertarungan antara Rangda-Barong, menjiwai tingkah laku orang Bali sehari-hari dalam lingkup yang sangat luas; kebanyakan darinya, seperti ritus-ritus itu sendiri, memiliki suasana ketakutan yang bercampur senda gurau.
Sebagian, jalan masuk ke dalam susunan ritus itu berlangsung melalui pengantaran berbagai peran pendukung yang terdapat di dalamnya, anatara lain: tukang-tukang sihir kecil, setan-setan, berbagai macam tokoh legendaris dan mitis, di mana seluruhnya ini dimainkan oleh orang-orang desa yang terpilih. Akan tetapi sebagian besar jalan masuk ke dalam susunan ritus itu berlangsung lewat pengantaran sebuah kemampuan yang luar biasa hebatnya untuk memisahkan diri secara psikologis terhadap sebagain besar dari penduduk.
Menjadi trans bagi orang Bali, menyeberangi sebuah ambang pintu ke dalam tatanan kenyataan yang lain. Kata untuk trans adalah nadi, dari kata dadi, sering diterjemahkan menjadi tetapi secara lebih sederhana dinyatakan sebagai berada. Dan bila orang-orang desa itu mulai trans, mereka menjadikan nadi diri mereka sendiri bagian dari dunia tempat kehadiran-kehadiran itu ada. Saat trans itu terjadi maka mereka berkelahi satu sama lain, berkubang kejang-kejang di dalam lumpur dan yang menyelamatkan mereka ialah orang-orang yang tidak mengalami trans tersebut yang berada di lingkungan sekitar mereka.
Bagi seorang antropolog pentingnya agama itu teletak pada kemampuannya untuk berlaku; bagi seorang individu atau sebuah kelompok sebagai sumber konsep umum namun jelas, tentang dunia, diri, dan hubungan di antara keduanya. Studi antropologis mengenai agama merupakan suatu operasi yang memiliki dua tahap: yang pertama, suatu analisis atas sistem sebuah makna yang terkandung di dalam simbol-simbol yang meliputi agama tertentu. Kedua, menghubungkan sistem-sistem tersebut pada struktur sosial dan proses psikologis.
Taraf perkembangan sistem-sistem religius itu sendiri amat bervariasi, dan tidak semata-mata berdasarkan pada suatu basis evolusioner sederhana. Hanya bila kita memiliki sebuah anlisa teoritis atas tindakan simbolis yang dapat dibandingkan dengan sotisfikasi pada apa yang sekarang kita miliki untuk tindakan sosial dan psikologis, kita akan dapat secara efektif menguasai segi-segi kehidupan sosial dan psikologis itu yang di dalamnya agama (skesenian, ilmu pengetahuan, dan ideologi) memainkan sebuah peranan yang menentukan.

 III.      Refleksi
Kehidupan kita umat manusia yang beragama tidak dapat terlepas dari pengaruh kebudayaan Dalam kehidupan kita sekarang juga kebudayaan itu masih terlihat mempengaruhi agama, misalnya sebagi salah satu contohnya adalah pakaian adat yang dipakai untuk ke gereja. Kemudian dalam kehidupan sehari-hari juga kita tidak terlepas dari kegiatan-kegiatan religius misalnya melaksanakan acara adat, baik dalam pernikahan dan upacara penguburan. Kebudayaan yang mempengaruhi agama yang dilambangkan dengan simbol-simbol masih ada juga sampai sekarang misalnya bangunan gereja yang diberi motif kebudayaan.




 IV.      Kesimpulan
         Studi antropologis tentang agama terlihat dalam sebuah kasus ibadat kepada bapa leluhur sehingga mendukung otoritas hukum generasi yang lebih tua. Dalam melakukan ibadat ini tidak terlepas dari pengaruh kebudayaan. Kebudyaan itu dilambangkan dengan   simbol-simbol. Sutau masalah bagi agama adalah karena agama menanamkan kekuatan sumber-sumber simbolis untuk merumuskan gagasan-gagasan analitis dalam sebuah konsep otoritatif tentang bentuk menyeluruh dari kenyataan, demikian juga dilain sisi agama menanamkan kekuatan-kekuatan sumber simbolis untuk mengungkapkan emosi-emosi. Agama itu seharusnya menekankan simbolisme sehingga manusia dapat memahami penderitaan. Penderitaan yang terlalu berat dapat menimbulkan kejahatan.
Semua pertunjukan kultural bukanlah pertunjukan-pertunjukan religius yang bersifat aristis atau politis. Misalnya, melakukan pementasan drama bagi orang Bali, di mana mereka menganggap hal itu bukan sebagai sebuah tontonan belaka saja melainkan sebuah ritus. Taraf perkembangan sistem-sistem religius itu sendiri amat bervariasi, dan tidak semata-mata berdasarkan pada suatu basis evolusioner sederhana. Hanya bila kita memiliki sebuah anlisa teoritis atas tindakan simbolis yang dapat dibandingkan dengan sotisfikasi pada apa yang sekarang kita miliki untuk tindakan sosial dan psikologis, kita akan dapat secara efektif menguasai segi-segi kehidupan sosial dan psikologis itu yang di sdalamnya agama (skesenian, ilmu pengetahuan, dan ideologi) memainkan sebuah peranan yang menentukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar